Kamis, 31 Januari 2013

Bahasa Gayo

Bahasa Gayo (sebutan: GayƓ) adalah bahasa yang dituturkan oleh suku Gayo di Nanggroe Aceh Darussalam, terutamanya di Kabupaten Aceh Tengah, Bener Meriah, Gayo Lues dan kecamatan Serba Jadi di kabupaten Aceh Timur. Ketiga daerah ini merupakan wilayah inti suku Gayo. Bahasa ini termasuk kelompok bahasa Sunda-Sulawesi dari bahasa Austronesia.
Bahasa Gayo agak berbeza dengan bahasa lain yang ada di Sumatra. Bahasa ini sama tuanya dengan keberadaan orang Gayo ("urang Gayo") itu sendiri di Indonesia, dan tidak dapat dipisahkan antara keduanya. Sementara orang Gayo merupakan suku asli yang mendiami Nanggroe Aceh Darussalam. Mereka memiliki bahasa, adat istiadat sendiri yang membezakan identiti mereka dengan suku-suku lain yang ada di Indonesia. Daerah kediaman mereka sendiri disebut dengan "tanoh Gayo" (tanah Gayo), tepatnya berada di tengah-tengah provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.

Sejarah

Bahasa-bahasa yang ada di Nusantara masuk dalam kelompok Austronesia (Merrit Ruhlen dalam Pesona Bahasa Nusantara Menjelang Abad Ke-21: 27). Sedangkan Bahasa Gayo termasuk dalam rumpun bahasa Melayo-Polinesia seperti yang disebutkan Domenyk Eades dalam bukunya A Grammar of Gayo: A Language of Aceh, Sumatra:
“Gayo belongs to the Malayo-Polynesian branch of the Austronesian family of languages. Malayo-Polynesian languages are spoken in Taiwan, the Philippines, mainland South-East Asia, western Indonesia…”(Eades 2005:4)
Bahasa ini (bahasa Gayo) merupakan bagian dari bahasa Melayo-Polinesia, dan dikelompokan dalam bagian Austronesia seperti yang disebutkan Merrit Ruhlen di atas. Secara khusus, masih belum diketahui kapan dan periodesasi perkembangan bahasa ini (Gayo). Yang pasti, bahasa ini ada sejak suku ini menempati daerah ini. Orang Gayo sendiri sudah menempati Aceh (Perlak dan Pase, pantai timur dan sebagian pantai utara Aceh) sejak sebelum masehi (Ibrahim, 2002:1). Untuk menelusuri sejarah awal terbentuknya dan periodesasi bahasa ini, diperlukan kajian komprehensif dengan melibatkan berbagai disiplin ilmu terutama linguistik historis, linguistik komparatif dan sosio-linguistik untuk mengetahui hal di atas secara pasti. "
Perkembangan bahasa ini kemudian tidak terlepas dari persebaran orang Gayo menjadi beberapa kelompok yaitu Gayo Lut (seputar danau Laut Tawar termasuk kabupaten Bener Meriah), Gayo Deret yaitu daerah Linge dan sekitarnya (masih merupakan bagian wilayah kabupaten Aceh Tengah), Gayo Lukup/Serbejadi (kabupaten Aceh Timur), Gayo Kalul (Aceh Tamiang), Gayo Lues (kabupaten Gayo Lues dan beberapa kecamatan di Aceh Tenggara), juga sebagian kecil terdapat di Aceh Selatan. Faktor ekonomi menjadi motivasi utama persebaran tersebut, seperti yang dijelaskan dalam bahasa adat Gayo, “ari kena nyanya ngenaken temas, ari kena empet ngenaken lues.” Artinya, disebabkan karena kehidupan yang kurang baik, (sehingga) berusaha untuk lebih baik, karena sempit (lahan pertanian, perkebunan, dan lain-lain) berusaha untuk lebih luas.” Terjadinya persebaran tersebut turut mempengaruhi penamaan-penamaan suku Gayo, variasi dialek dan kosakata yang mereka miliki. Gayo Lokop atau Serbejadi misalnya, merupakan nama sebuah kecamatan yang ada di kabupaten Aceh Timur. Begitu juga halnya dengan Gayo Kalul dan Gayo Lues, komunitas Gayo yang masing-masing ada di hulu sungai Tamiang, Pulo Tige (kabupaten Aceh Tamiang) dan kabupaten Gayo Lues termasuk beberapa kecamatan di kabupaten Aceh Tenggara. Penamaan tersebut menggambarkan daerah hunian baru yang mereka diami. Orang-orang Gayo di kabupaten Bener Meriah masih merupakan bagian dari Gayo Lut (Takengon), yang beberapa tahun lalu, kabupaten Bener Meriah mekar dari kabupaten Aceh Tengah. Sementara, sebagian kecil komunitas Gayo di Aceh Selatan tidak menunjukan perbedaan nama seperti di tempat lain.

Variasi Dialek

Salah satu dampak dari pesebaran yang terjadi yaitu adanya variasi dialek pada bahasa Gayo. Meski demikian, perbedaan tersebut tidak mempengaruhi penutur bahasa Gayo dalam berkomunikasi satu sama lain. Pengaruh dari luar yaitu bahasa di luar bahasa Gayo turut mempengaruhi variasi dialek tersebut. Perbedaan tersebut tidak hanya pada aspek fonologi tetapi juga pada kosakata yang digunakan. Namun, untuk yang kedua (kosa kata) tidak menunjukan pengaruh yang begitu besar. Sebagai contoh, bahasa Gayo yang ada di Lokop, sedikit berbeda dengan bahasa Gayo yang ada di Gayo Kalul, Gayo Lut, Linge dan Gayo Lues. Hal tersebut disebabkan karena pengaruh bahasa Aceh yang lebih dominan di Aceh Timur. Begitu juga halnya dengan Gayo Kalul, di Aceh Tamiang, sedikit banyak terdapat pengaruh Melayu karena lebih dekat ke Sumatera Utara. Kemudian, Gayo Lues lebih dipengaruhi oleh bahasa Alas dan bahasa Karo karena interaksi yang lebih banyak dengan kedua suku tersebut lebih-lebih komunitas Gayo yang ada di kabupaten Aceh Tenggara.
Dalam hal dialek yang ada pada suku Gayo, M.J. Melalatoa membagi dialek Gayo Lut terdiri dari sub-dialek Gayo Lut dan Deret; sedangkan Bukit dan Cik merupakan sub-subdialek. Demikian pula dengan dialek Gayo Lues terdiri dari sub-dialek Gayo Lues dan Serbejadi. Sub-dialek Serbejadi sendiri meliputi sub-sub dialek Serbejadi dan Lukup (1981:53). Sementara Baihaqi Ak., dkk menyebut jumlah dialek bahasa Gayo sesuai dengan persebaran suku Gayo tadi (Gayo Lut, Deret, Gayo Lues, Lokop/Serbejadi dan Kalul). Namun demikian, dialek Gayo Lues, Gayo Lut, Gayo Lukup/Serbejadi dan Gayo Deret dapat dikatakan sama atau amat berdekatan. Di Gayo Lut sendiri terdapat dua dialek yang disana dinamakan dialek Bukit dan Cik (1981:1).
Dalam bahasa Gayo, kita juga mengenal tingkat kesopanan yang ditunjukan dengan tutur (memanggil seseorang) dengan panggilan yang berbeda. Hal tersebut menunjukan tata krama, sopan santun, rasa hormat, penghargaan dan kasih sayang. Kepada orang tua, misalnya, akan memiliki tutur yang berbeda dengan anak-anak. Dapat kita contohkan, pemakaian ko dan kam, yang keduanya berarti kamu (anda) Panggilan ko biasa digunakan dari orang tua dan/atau lebih tua kepada yang lebih muda, sebaliknya, terasa janggal atau tidak sopan bila yang muda menggunakan kata ini kepada orang yang lebih tua. Kata kam sendiri lebih sopan dibandingkan dengan ko. Selain itu, kam ini menunjukan makna jamak dan panggilan intim antara suami istri. Tambahan pula, bahasa Gayo Lut dinilai lebih sopan dan halus dibandingkan dengan bahasa Gayo lainnya.