Pada masa lalu di
dataran tinggi Gayo tinggal dua orang kakak beradik yakni, Sengeda dan Bener
Meriah bersama ibu mereka. Suatu hari kedua kakak beradik itu menanyakan kepada
ibunya siapakah keluarga mereka sebenarnya. Diterangkanlah oleh ibu mereka bahwa
ayah mereka bernama Raja Lingga ke XIII, raja yang berkuasa di negeri Lingga.
Sedangkan dari pihak ibu mereka adalah keluarga Sultan Malaka. Raja Lingga yang
sekarang berkuasa adalah Abang kandung seayah dengan mereka. Sehabis
menceritakan asal usul keluarga mereka sang ibu menyerahkan dua pusaka
peninggalan almarhun ayahnya Raja Lingga XIII berupa sebilah pedang dan
sebentuk cincin permata yang dalam dua benda pusaka tersebut terdapat tulisan
yang bertuliskan bahwa kedua benda tersebut milik Raja Lingga yang diwariskan
secara turun temurun pada keturunannya. Mendengar cerita tersebut keduanya
sepakat untuk pergi ke Lingga untuk menemui Abang dan para kerabatnya.
Setelah mendapat
izin dari ibunya, keduanya berangkat menuju Lingga. Sesampainya di sana dengan
diantar oleh penguasa setempat, keduanya menghadap Raja Lingga XIV dengan hati
penuh suka cita. Di halaman Umah Tujuh Ruang tempat Raja Lingga XIV bertahta
mereka sangat terkagum-kagum akan keindahan tempat tersebut. Sesampainya di
dalam Umah Tujuh Ruang mereka takjup akan keindahan dan kemewahan tempat
tersebut. Mereka kagum akan kebesaran saudara mereka sebagai Raja Lingga XIV.
Dihadapan raja dan para pembesar Kerajaan Lingga lainnya, mereka menceritakan
maksud kedatangan mereka yang ingin bertemu dengan saudaranya dan juga para
kerabat yang lain. Diceritakan pula bahwa mereka adalah anak dari Raja Lingga
XIII dan juga keturunan keluarga Sultan Malaka. Tidak lupa mereka
memperlihatkan pusaka pemberian ibu mereka kepada para hadirin sebagai bukti
bahwa mereka keturunan Raja Lingga XIII.
Mendengar pengakuan
dari kedua kakak beradik tersebut seluruh hadirin terharu dan merasa bersyukur
bahwa keluarga mereka telah kembali. Namun dalam beberapa saat mereka terkejut
akan ucapan Raja yang menuduh mereka berbohong. Menurut raja mereka bukanlah
keluarga Raja Lingga XIII. Pusaka yang mereka miliki memang benar milik Raja
Lingga XIII, tetapi pusaka tersebut telah dicuri oleh seseorang setelah
membunuh Raja Lingga XIII. Dengan demikian kedua kakak beradik tersebut adalah
pembunuh Raja Lingga XIII.
Mendengar tuduhan
tersebut tentunya kedua kakak beradik terkejut bukan kepalang. Mereka sangat
sedih bahwa mereka dituduh membunuh Ayah mereka. Atas dasar itu, raja pun
memutuskan hukuman pada keduanya berupa hukuman mati. Mendengar titah raja yang
demikian seluruh hadirin sangat terkejut. Para pembesar kerajaan berusaha
meluruskan permasalahan dan meyakinkan raja bahwa kedua kakak beradik tersebut
memang benar-benar anak Raja Lingga XIII. Dengan segala cara para hadirin yang
terdiri dari para pembesar kerajaan dan kerabat istana membujuk raja untuk
merubah keputusan, namun hati baginda raja telah membantu dan tetap
memerintahkan kakak beradik tersebut untuk dihukum mati.
Untuk melaksanakan
hukuman mati tersebut baginda raja memerintahkan seorang algojo untuk memancung
Bener Meriah. Sedangkan Cik Serule salah seorang pembesar kerajaan ditugasi
untuk memancung Sengeda. Atas perintah tersebut algojo yang berhati bengis ini
langsung menyeret Bener Meriah dari Umah Tujuh Ruang untuk dipancung ditengah
lapangan. Dalam sekejap akhirnya Bener Meriah merenggangkan nyawanya di tanggan
algojo. Pakaian Bener meriah yang berlumuran darah dibawa algojo dan diserahkan
pada raja sebagai bukti Bener meriah telah mati.
Sedangkan Sengeda
dibawa Cik Serule ke suatu tempat untuk dibunuh. Dalam perjalanan ke tempat
tersebut hati Sengeda hancur lebur menyaksikan kepergian saudaranya Bener
meriah di tangan algojo atas perintah raja yang tamak. Sengeda telah pasrah
dibawa kemanapun oleh Cik Serule.
Tanpa diduga
sebelumnya oleh Sengeda, ternyata Cik Serule tidak membunuh Sengeda bahkan
menyembunyikan Sengeda di suatu tempat tersembunyi. Untuk membuktikan bahwa
perintah dari baginda Raja Lingga XIV telah dilaksanakan, Cik Serule meminta
pakaian yang dikenakan Sengeda dan melumuri pakaian tersebut dengan darah
binatang. Cik Serule memerintahkan Sengeda untuk tidak pergi meninggalkan
tempat persembunyaian sampai beliau datang menjemputnya.
Setelah merasa aman,
Cik Serule keluar dari tempat persembunyian dengan membawa pakaian Sengeda yang
telah berlumuran darah. Di tengah perjalanan menuju Umah Tujuh Ruang, Cik
Serule bertemu dengan sahabat-sahabatnya yang memprotes keputusan raja namun
tidak berani membantahnya. Sesampainya di Umah tujuh Ruang tempat berdiamnya
raja, Cik Serule menyerahkan pakaian Sengeda yang telah berlumuran darah
sebagai bukti bahwa tugas membunuh Sengeda telah dilaksanakan. Melihat bukti
tersebut Raja Lingga XIV merasa gembira, beliau yang hatinya penuh diliputi
rasa iri dan dengki merasa puas musuhnya telah tiada.
Seusai menghadap
raja, Cik Serule memohon izin untuk kembali ke rumahnya. Sebelum sampai ke
rumahnya Cik Serule mampir ke tempat persembunyian Sengeda dengan membawa
bahan-bahan kebutuhan hidup. Cik Serule berpesan kembali kepada Sengeda bahwa
Sengeda harus tetap bersembunyi di tempat tersebut sampai dirinya kembali.
Di tempat
persembunyian Sengeda hidup seorang diri. Berbagai aktivitas ia lakukan untuk
mengusir kesepian. Namun, setelah cukup lama bersembunyi kesepian tetap menerpa
Sengeda apalagi jika ia mengingat peristiwa kematian saudaranya Bener meriah.
Ketika kesepian itu
tidak dapat terbendung lagi, Sengeda berniat meninggalkan tempat persembunyian,
namun sebelum sampai niatnya itu terlaksana, Cik Serule tiba mengunjungi
Sengeda di tempat persembunyian. Tanpa diduga oleh Sengeda sebelumnya, ternyata
Cik Serule telah mempunyai rencana untuk dirinya. Cik Serule menyuruhnya untuk
tinggal di kediaman Cik Serule. Selama tinggal di rumah Cik Serule Sengeda
mengerjakan tugas menjaga kebun dan ternak milik Cik Serule. Selama mengerjakan
tugasnya Sengeda bekerja sangat rajin. Melihat kerajinan dan kepatuhan Sengeda,
Cik Serule merasa sayang dengannya. Oleh sebab itu Sengeda telah dianggap anak
oleh Cik Serule.
Suatu hari dalam
tidurnya Sengeda bertemu dengan saudaranya Bener meriah. Dalam mimpi tersebut
Bener meriah memberi petunjuk agar Sengeda meminta izin pada Cik Serule untuk
ikut mengiringi Cik Serule ke ibukota Kerajaan Aceh Darussalam. Sebagai bekal
ke ibukota kerajaan Aceh Darussalam, Sengeda diperintahkan membawa sebilah
pisau kecil yang sangat tajam dan sebilah upih betung yang terbagus dan
terlebar.
Sesampai di ibukota
Sengeda diharuskan mencari jalan agar dia dapat diizinkan memasuk ke dalam
keraton Darul dunia. Pada hari persidangan Sengeda diperintahkan untuk duduk di
Balai Gading (balai tempat istirahat raja-raja). Dalam mimpinya tersebut Bener
meriah memerintahkan Sengeda melukis seekor gajah di upih betung dengan pisau
kecil yang telah dibawa. Setelah selesai mainkanlah lukisan tersebut niscaya
akan datang seorang putri menghampiri diri mu. Jika putri tersebut bertanya
ukiran apakah itu, jawablah itu merupakan lukisan gajah putih yang cantik
rupawan dan kuat. Jika ditanya keberadaan gajah putih tersebut jawablah berada
di negeri Lingga dan jika Sultan bersedia menyuruhmu menangkap gajah putih
tersebut, kamu sanggup melaksanakannya. Jangan takut aku akan selalu membantu
mu. Demikianlah ucapan Bener meriah dalam mimpi Sengeda.
Terjaga dari mimpi
tersebut, Sengeda berpikir dengan keras. Dia sadar bahwa apabila melaksanakan
amanat Bener meriah dalam mimpinya itu, jika ketahuan maka nyawa Sengeda
menjadi taruhannya. Selain itu juga keselamatan Cik Serule juga ikut terancam.
Namun setelah mempertimbangkan masak-masak dan berdoa pada Allah s.w.t, Sengeda
berteguh hati melaksanakan amanat Bener meriah.
Pada suatu hari
terdengar rencana Cik Serule ke ibu kota kerajaan Aceh Darussalam sebagai
utusan Raja Lingga menghadiri sidang tahunan. Mendengar rencana tersebut
Sengeda teringat akan mimpinya, menghadaplah Sengeda pada Cik Surele dan
memohon untuk diajak serta dalam rombongan Cik Serule ke ibukota kerajaan Aceh
Darussalam. Mendengar permohonan tersebut Cik Serule mengabulkannya. Maka
berangkatlah Sengeda beserta rombongan Cik Serule ke ibu kota kerajaan Aceh
Darussalam.
Ketika telah berada
di ibu kota kerajaan Aceh Darussalam, Sengeda berusaha mencari kesempatan untuk
dapat masuk ke dalam keraton Darul Dunia. Ketika seluruh pembesar kerajaan Aceh
Darussalam beserta utusan raja-raja taklukan sedang melaksanakan sidang,
Sengeda berhasil masuk ke dalam keraton Darul dunia dan menuju Balai gading.
Sesampai di sana ia memainkan lukisan gajah yang telah ia lukis di atas upih
bambu yang telah ia persiapkan dari rumah. Pada saat memainkan lukisan
tersebut, Sengeda kagum, karena pantulan cahaya matahari yang mengenai lukisan
tersebut dan memantul kembali ke tembok keraton membuat lukisan gajah tersebut
menjadi sangat indah. Sesuai dengan mimpinya, tidak berapa lama datanglah
seorang putri yang ternyata salah seorang putri Sultan Aceh. Sang putri
menanyakan gambar tersebut pada Sengeda. Diceritakan oleh Sengeda tentang gajah
putih sesuai dengan petunjuk Bener meriah dalam mimpinya. Mendengar cerita
Sengeda, hati Sang putri terpikat dan memohon pada ayahnya Sultan Aceh
Darussalam untuk memerintahkan Cik Serule membawakan gajah putih.
Mendengar permintaan
putrinya, Sultan Aceh memerintahkan Cik Serule untuk menangkap gajah putih yang
dimaksud. Mendengar permintaan Sultan Aceh, Cik Serule bingung bukan kepalang
karena dia tidak mengetahui pengetahuan sama sekali tentang gajah putih yang
dimaksud. Mengetahui hal itu Sengeda menceritakan seluruh mimpinya pada Cik
Serule dan menenangkan hati Cik Serule dengan menyatakan kesanggupannya untuk
menangkap Gajah putih dan mempersembahkannya pada Sultan Aceh.
Setiba di Lingga,
Cik Serule melaporkan perintah Sultan Aceh pada Raja Lingga XIV. Kemudian Raja
Lingga XIV memerintahkan pada seluruh rakyat untuk membantu Cik Serule
menangkap gajah putih.
Untuk menangkap
gajah putih di rimba Gayo, Sengeda memohon pada Cik Serule mengadakan kenduri
sekedarnya dan berdoa di makam saudaranya Bener meriah. Selain itu juga Sengeda
meminta pada penduduk kampung yang akan ikut menangkap gajah putih untuk
membawa berbagai macam alat musik untuk dimainkan setelah berdoa di makan Bener
meriah. Mendengar permintaan Sengeda, hati Cik Serule merasa bingung tidak
mengerti apa hubungan menangkap gajah putih dengan berdoa di makam Bener
meriah. Namun karena keyakinannya terhadap Sengeda, Cik serule mengabulkannya.
Pada hari yang telah
ditentukan berangkatlah Sengeda bersama Cik serule dan rombongan menuju makam
Bener meriah dengan membawa bahan makanan untuk kenduri serta tidak lupa
membawa alat-alat kesenian.
Sesampainya di makam
Bener meriah mereka berdoa pada Allah s.w.t agar niat mereka dapat terlaksana
dengan baik. Selesai berdoa mereka pun melaksanakan kenduri sambil memainkan
alat-alat kesenian yang telah mereka persiapkan. Di saat bersamaan, Sengeda
memerintahkan beberapa orang yang tidak membawa alat musik untuk menari. Dengan
alunan sedih, Sengeda menyanyikan lagu yang menceritakan kesedihannya ditinggal
saudara kandungnya Bener meriah. Tari, syair lagu dan alunan musik yang sedih
tersebut membentuk suatu rangkaian yang sampai saat ini dikenal sebagai “Tari
Guel”.
Ketika mereka sedang
asik menari dan memainkan musik, tiba dari arah rumpun bambu muncul seekor
gajah putih yang besar dan cantik. Melihat hal itu Sengeda memerintahkan para
penduduk untuk terus memainkan tarian tersebut dengan hati yang ikhlas.
Mendengar suara alunan musik dan gerak tari yang ritmis tersebut gajah putih
bagaikan tersihir. Sengeda dengan didampingi Cik serule menghampiri gajah putih
yang telah jinak tersebut untuk menangkap dan mengikatnya.
Keberhasilan Sengeda
dan Cik serule menangkap gajah putih membuat hati Raja Lingga XIV
berbunga-bunga membayangkan hadiah yang akan ia terima. Tanpa menunggu lama
raja memerintahkan Sengeda dan Cik Serule untuk mendampinginya mengantar gajah
putih tersebut ke ibukota kerajaan Aceh Darussalam untuk dipersembahkan pada
Sultan Aceh. Selama dalam perjalanan sekali-kali Cik Serule menepung tawari
gajah putih tersebut agar tetap jinak.
Singkat cerita
sampailah rombongan ke hadapan Sultan Aceh. Melihat gajah putihyang
diinginkannya putri sultan merasa gembira hatinya. Atas keberhasilan tersebut
sultan memberikan hadiah dalam upacara kebesaran. Sebelum acara penyerahan
hadiah dilaksanakan, Raja Lingga XIV menghampiri gajah putih untuk memamerkan
pada seluruh negeri bahwa dia telah berhasil menangkap gajah putih. Tanpa
diduga, gajah putih tersebut mengamuk dan menyemprotkan Raja Lingga dengan air
lumpur. Untung saja kejadian tersebut cepat diketahui oleh Sengeda dan Cik
serule sehingga raja lingga dapat diselamatkan dari amukan gajah.
Pada hari pemeberian
hadiah, Sultan Aceh yang bijaksana sangat tertarik akan kisah Sengeda yang
telah berhasil menangkap gajah putih. Maka ditanya pula asal usul Sengeda.
Memenuhi permintaan Sultan, Sengeda dengan didampingi Cik Serule dan Raja
Lingga XIV menceritakan dengan sebenarnya asal usul Sengeda dan tidak lupa
diceritakan pula peristiwa kematian saudara kandungnya Bener Meriah. Untuk
memperkuat cerita Sengeda, sultan memerintahkan untuk menghadirkan ibu Sengeda.
Setibanya di ruang sidang, ibu Sengeda menceritakan kembali asal-usul Sengeda.
Mendengar cerita Sengeda dan ibunya, murka lah baginda pada Raja Lingga XIV
yang begitu bengis telah memerintahkan algojo untuk membunuh saudara sendiri.
Atas perbuatannya tersebut sultan memutuskan menghukum mati Raja Lingga XIV.
Demikianlah legenda
Sengeda dan Gajah putih. Dari legenda inilah tari guel berasal. Begitulah
sejarah dari cerita rakyat di Gayo, walaupun kebenaran secara ilmiah tidak bisa
dibuktikan, namun kemudian Tari Guel dalam perkembangannya tetap mereka ulang
cerita unik Sengeda, Gajah Putih dan sang Putri Sultan. Inilah yang kemudian
dikenal temali sejarah yang menghubungkan kerajaan Linge dengan Kerajaan Aceh
Darussalam begitu dekat dan bersahaja.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar