Kamis, 31 Januari 2013

Bahasa Gayo

Bahasa Gayo (sebutan: GayƓ) adalah bahasa yang dituturkan oleh suku Gayo di Nanggroe Aceh Darussalam, terutamanya di Kabupaten Aceh Tengah, Bener Meriah, Gayo Lues dan kecamatan Serba Jadi di kabupaten Aceh Timur. Ketiga daerah ini merupakan wilayah inti suku Gayo. Bahasa ini termasuk kelompok bahasa Sunda-Sulawesi dari bahasa Austronesia.
Bahasa Gayo agak berbeza dengan bahasa lain yang ada di Sumatra. Bahasa ini sama tuanya dengan keberadaan orang Gayo ("urang Gayo") itu sendiri di Indonesia, dan tidak dapat dipisahkan antara keduanya. Sementara orang Gayo merupakan suku asli yang mendiami Nanggroe Aceh Darussalam. Mereka memiliki bahasa, adat istiadat sendiri yang membezakan identiti mereka dengan suku-suku lain yang ada di Indonesia. Daerah kediaman mereka sendiri disebut dengan "tanoh Gayo" (tanah Gayo), tepatnya berada di tengah-tengah provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.

Sejarah

Bahasa-bahasa yang ada di Nusantara masuk dalam kelompok Austronesia (Merrit Ruhlen dalam Pesona Bahasa Nusantara Menjelang Abad Ke-21: 27). Sedangkan Bahasa Gayo termasuk dalam rumpun bahasa Melayo-Polinesia seperti yang disebutkan Domenyk Eades dalam bukunya A Grammar of Gayo: A Language of Aceh, Sumatra:
“Gayo belongs to the Malayo-Polynesian branch of the Austronesian family of languages. Malayo-Polynesian languages are spoken in Taiwan, the Philippines, mainland South-East Asia, western Indonesia…”(Eades 2005:4)
Bahasa ini (bahasa Gayo) merupakan bagian dari bahasa Melayo-Polinesia, dan dikelompokan dalam bagian Austronesia seperti yang disebutkan Merrit Ruhlen di atas. Secara khusus, masih belum diketahui kapan dan periodesasi perkembangan bahasa ini (Gayo). Yang pasti, bahasa ini ada sejak suku ini menempati daerah ini. Orang Gayo sendiri sudah menempati Aceh (Perlak dan Pase, pantai timur dan sebagian pantai utara Aceh) sejak sebelum masehi (Ibrahim, 2002:1). Untuk menelusuri sejarah awal terbentuknya dan periodesasi bahasa ini, diperlukan kajian komprehensif dengan melibatkan berbagai disiplin ilmu terutama linguistik historis, linguistik komparatif dan sosio-linguistik untuk mengetahui hal di atas secara pasti. "
Perkembangan bahasa ini kemudian tidak terlepas dari persebaran orang Gayo menjadi beberapa kelompok yaitu Gayo Lut (seputar danau Laut Tawar termasuk kabupaten Bener Meriah), Gayo Deret yaitu daerah Linge dan sekitarnya (masih merupakan bagian wilayah kabupaten Aceh Tengah), Gayo Lukup/Serbejadi (kabupaten Aceh Timur), Gayo Kalul (Aceh Tamiang), Gayo Lues (kabupaten Gayo Lues dan beberapa kecamatan di Aceh Tenggara), juga sebagian kecil terdapat di Aceh Selatan. Faktor ekonomi menjadi motivasi utama persebaran tersebut, seperti yang dijelaskan dalam bahasa adat Gayo, “ari kena nyanya ngenaken temas, ari kena empet ngenaken lues.” Artinya, disebabkan karena kehidupan yang kurang baik, (sehingga) berusaha untuk lebih baik, karena sempit (lahan pertanian, perkebunan, dan lain-lain) berusaha untuk lebih luas.” Terjadinya persebaran tersebut turut mempengaruhi penamaan-penamaan suku Gayo, variasi dialek dan kosakata yang mereka miliki. Gayo Lokop atau Serbejadi misalnya, merupakan nama sebuah kecamatan yang ada di kabupaten Aceh Timur. Begitu juga halnya dengan Gayo Kalul dan Gayo Lues, komunitas Gayo yang masing-masing ada di hulu sungai Tamiang, Pulo Tige (kabupaten Aceh Tamiang) dan kabupaten Gayo Lues termasuk beberapa kecamatan di kabupaten Aceh Tenggara. Penamaan tersebut menggambarkan daerah hunian baru yang mereka diami. Orang-orang Gayo di kabupaten Bener Meriah masih merupakan bagian dari Gayo Lut (Takengon), yang beberapa tahun lalu, kabupaten Bener Meriah mekar dari kabupaten Aceh Tengah. Sementara, sebagian kecil komunitas Gayo di Aceh Selatan tidak menunjukan perbedaan nama seperti di tempat lain.

Variasi Dialek

Salah satu dampak dari pesebaran yang terjadi yaitu adanya variasi dialek pada bahasa Gayo. Meski demikian, perbedaan tersebut tidak mempengaruhi penutur bahasa Gayo dalam berkomunikasi satu sama lain. Pengaruh dari luar yaitu bahasa di luar bahasa Gayo turut mempengaruhi variasi dialek tersebut. Perbedaan tersebut tidak hanya pada aspek fonologi tetapi juga pada kosakata yang digunakan. Namun, untuk yang kedua (kosa kata) tidak menunjukan pengaruh yang begitu besar. Sebagai contoh, bahasa Gayo yang ada di Lokop, sedikit berbeda dengan bahasa Gayo yang ada di Gayo Kalul, Gayo Lut, Linge dan Gayo Lues. Hal tersebut disebabkan karena pengaruh bahasa Aceh yang lebih dominan di Aceh Timur. Begitu juga halnya dengan Gayo Kalul, di Aceh Tamiang, sedikit banyak terdapat pengaruh Melayu karena lebih dekat ke Sumatera Utara. Kemudian, Gayo Lues lebih dipengaruhi oleh bahasa Alas dan bahasa Karo karena interaksi yang lebih banyak dengan kedua suku tersebut lebih-lebih komunitas Gayo yang ada di kabupaten Aceh Tenggara.
Dalam hal dialek yang ada pada suku Gayo, M.J. Melalatoa membagi dialek Gayo Lut terdiri dari sub-dialek Gayo Lut dan Deret; sedangkan Bukit dan Cik merupakan sub-subdialek. Demikian pula dengan dialek Gayo Lues terdiri dari sub-dialek Gayo Lues dan Serbejadi. Sub-dialek Serbejadi sendiri meliputi sub-sub dialek Serbejadi dan Lukup (1981:53). Sementara Baihaqi Ak., dkk menyebut jumlah dialek bahasa Gayo sesuai dengan persebaran suku Gayo tadi (Gayo Lut, Deret, Gayo Lues, Lokop/Serbejadi dan Kalul). Namun demikian, dialek Gayo Lues, Gayo Lut, Gayo Lukup/Serbejadi dan Gayo Deret dapat dikatakan sama atau amat berdekatan. Di Gayo Lut sendiri terdapat dua dialek yang disana dinamakan dialek Bukit dan Cik (1981:1).
Dalam bahasa Gayo, kita juga mengenal tingkat kesopanan yang ditunjukan dengan tutur (memanggil seseorang) dengan panggilan yang berbeda. Hal tersebut menunjukan tata krama, sopan santun, rasa hormat, penghargaan dan kasih sayang. Kepada orang tua, misalnya, akan memiliki tutur yang berbeda dengan anak-anak. Dapat kita contohkan, pemakaian ko dan kam, yang keduanya berarti kamu (anda) Panggilan ko biasa digunakan dari orang tua dan/atau lebih tua kepada yang lebih muda, sebaliknya, terasa janggal atau tidak sopan bila yang muda menggunakan kata ini kepada orang yang lebih tua. Kata kam sendiri lebih sopan dibandingkan dengan ko. Selain itu, kam ini menunjukan makna jamak dan panggilan intim antara suami istri. Tambahan pula, bahasa Gayo Lut dinilai lebih sopan dan halus dibandingkan dengan bahasa Gayo lainnya.

Selasa, 29 Januari 2013

Sejarah Lingga (Linge)

      Kerajaan Lingga atau Linge (dalam bahasa gayo) di tanah Gayo, menurut M. Junus Djamil dalam bukunya "Gajah Putih" yang diterbitkan oleh Lembaga Kebudayaan Atjeh pada tahun 1959, Kutaraja, mengatakan bahwa sekitar pada abad ke-11 (Penahunan ini mungkin sangat relatif karena kerajaan Lamuri telah eksis sebelum abad ini, penahunan yang lebih tepat adalah antara abad ke 2-9 M), Kerajaan Lingga didirikan oleh orang-orang Batak Gayo pada era pemerintahan Sultan Machudum Johan Berdaulat Mahmud Syah dari Kerajaan Perlak. Informasi ini diketahui dari keterangan Raja Uyem dan anaknya Raja Ranta yaitu Raja Cik Bebesan dan dari Zainuddin yaitu dari raja-raja Kejurun Bukit yang kedua-duanya pernah berkuasa sebagai raja di era kolonial Belanda.

       Raja Lingga I, yang menjadi keturunan langsung Batak, disebutkan mempunyai 6 orang anak. Yang tertua seorang wanita bernama Empu Beru atau Datu Beru, yang lain Sebayak Lingga, Meurah Johan dan Meurah Lingga, Meurah Silu dan Meurah Mege.

        Sebayak Lingga kemudian merantau ke tanah Batak leluhurnya tepatnya di Karo dan membuka negeri di sana dia dikenal dengan Raja Lingga Sibayak. Meurah Johan mengembara ke Aceh Besar dan mendirikan kerajaannya yang bernama Lamkrak atau Lam Oeii atau yang dikenal dengan Lamoeri dan Lamuri atau Kesultanan Lamuri atau Lambri. Ini berarti kesultanan Lamuri di atas didirikan oleh Meurah Johan sedangkan Meurah Lingga tinggal di Linge, Gayo, yang selanjutnya menjadi raja Linge turun termurun. Meurah Silu bermigrasi ke daerah Pasai dan menjadi pegawai Kesultanan Daya di Pasai. Kesultanan Daya merupakan kesultanan syiah yang dipimpin orang-orang Persia dan Arab.

      Meurah Mege sendiri dikuburkan di Wihni Rayang di Lereng Keramil Paluh di daerah Linge. Sampai sekarang masih terpelihara dan dihormati oleh penduduk.
Penyebab migrasi tidak diketahui. Akan tetapi menurut riwayat dikisahkan bahwa Raja Lingga lebih menyayangi bungsunya Meurah Mege. Sehingga membuat anak-anaknya yang lain lebih memilih untuk mengembara.

DINASTI BATAK (LINGGA)

1. Raja Lingga I di Gayo
Raja Sebayak Lingga di Tanah Karo. Menjadi Raja Karo
Raja Marah Johan (pendiri Kesultanan Lamuri)
Marah Silu (pendiri Kesultanan Samudera Pasai), dan

2. Raja Lingga II alias Marah Lingga di Gayo 3. Raja Lingga III-XII di Gayo 4. Raja Lingga XIII menjadi Amir al-Harb Kesultanan Aceh, pada tahun 1533 terbentuklah Kerajaan Johor baru di Malaysia yang dipimpin oleh Sultan Alauddin Mansyur Syah. Raja Lingga XIII diangkat menjadi kabinet di kerajaan baru tersebut. Keturunannya mendirikan Kesultanan Lingga di kepulauan Riau, pulau Lingga, yang kedaulatannya mencakup Riau (Indonesia), Temasek (Singapura) dan sedikit wilayah Malaysia. Raja-raja di Sebayak Lingga Karo tidak terdokumentasi. Pada era Belanda kembali diangkat raja-rajanya tapi hanya dua era.
1. Raja Sendi Sibayak Lingga. (Pilihan Belanda)
2. Raja Kalilong Sibayak Lingga

Seni Budaya

       Suatu unsur budaya yang tidak pernah lesu di kalangan masyarakat Gayo adalah kesenian, yang hampir tidak pernah mengalami kemandekan bahkan cenderung berkembang. Bentuk kesenian Gayo yang terkenal, antara lain tari saman dan seni bertutur yang disebut didong. Selain untuk hiburan dan rekreasi, bentuk-bentuk kesenian ini mempunyai fungsi ritual, pendidikan, penerangan, sekaligus sebagai sarana untuk mempertahankan keseimbangan dan struktur sosial masyarakat. Di samping itu ada pula bentuk kesenian Seperti: Tari bines, Tari Guel, Tari munalu,sebuku(pepongoten),guru didong, dan melengkap (seni berpidato berdasarkan adat), yang juga tidak terlupakan dari masa ke masam, Karna Orang Gayo kaya akan seni budaya.

       Dalam seluruh segi kehidupan, orang Gayo memiliki dan membudayakan sejumlah nilai budaya sebagai acuan tingkah laku untuk mencapai ketertiban, disiplin, kesetiakawanan, gotong royong, dan rajin (munentu). Pengalaman nilai budaya ini dipacum oleh suatu nilai yang disebut bersikemelen, yaitu persaingan yang mewujudkan suatu nilai dasar mengenai harga diri (mukemel). Nilai-nilai ini diwujudkan dalam berbagai aspek kehidupan, seperti dalam bidang ekonomi, kesenian, kekerabatan, dan pendidikan. Sumber dari nilai-nilai tersebut adalah agama Islam serta adat setempat yang dianut oleh seluruh masyarakat Gayo.

Sejarah Saman

Tari saman merupakan hasil akal budi dan karya ciptaan masyarakat Gayo khususnya yang berasal dari Lokop Serbejadi (Aceh Timur) dan Gayo Lues yang ditirukan dari gerakan-gerakan Gajah Putih ketika digiring oleh para pang (pengawal Kerajaan Linge) dari Gayo menuju Aceh. Masyarakat Gayo yang hidup di sepanjang aliran sungai Kala Jemer (Aceh Timur) sudah memiliki peradaban dan kebudayaan yang tinggi pada masa tersebut. Tari Saman sudah ada dan hidup didalam masyarakat Gayo jauh sebelum Islam datang (masa pra Islam) dan bukan diciptakan pada abad 18 oleh seorang ulama yang bernama Syech Saman yang digunakan sebagai media penyebaran Islam di Gayo Lues (kawasan Leuser). Hal ini sama halnya dengan sistem hukum adat Sarakopat yang sudah ada sebelum Islam masuk ke Gayo. Sebelum Islam masuk ke Gayo sistem hukum adat yang berlaku adalah Saraktulu(Hukum yang Tiga) yang didalamnya terdiri unsur; Reje, Petue dan Rayat. Ketika Islam masuk maka Saraktulu berubah menjadi Sarakopat dengan ditambahnya unsur Imem (Imam/Ulama) ke dalam sistem hukum adat Gayo. Penambahan unsur Imem menjadi unsur hukum adat di Gayo merupakan suatu bukti penerimaan rakyat Gayo secara sukarela terhadap ajaran Islam.


Menurut catatan sejarah Islam lebih dahulu masuk ke Gayo Lues dibandingkan ke Pase. Masuknya Islam ke wilayah Gayo khususnya Lokop Serbejadi dan Gayo Lues bukanlah pada abad ke 18 bersamaan dengan masuknya Tarekat Sammaniyah (Tulisan Thayeb Loh Angen; Saman dan Seudati, Dua Tarian Kembar dari Pase; 2010). Melainkan, pada abad ke 11 jauh sebelum abad 18 sedangkan Islam baru masuk ke Pase pada abad ke 13. Islam sudah menjadi bagian dari hidup masyarakat Gayo khususnya di Lokop Serbejadi dan Gayo Lues. Hal ini dibuktikan dengan dibangunnya Mesjid Nampaan di Kec.Blangkejeren, Gayo Lues pada tahun 1214. Mesjid Nampaan merupakan mesjid tertua di Aceh Bahkan dari bukti sejarah itu justru orang Gayo lah yang menyebarkan Islam ke daerah Pase dimana salah satu putra asli Gayo yang bernama asli Merah Silu yang juga merupakan anak Yang Mulia Raja Linge Adi Genali menjadi raja Islam pertama di negeri Pase dengan gelar Sultan Malik As-Saleh (Malikussaleh). Hal ini dibuktikan lagi dengan adanya beberapa Kerajaan besar di wilayah Gayo yang sudah lama memeluk Islam bahkan simbol-simbol stempel kerajaan-kerajaan tersebut bernuansa Islam jauh sebelum abad ke 18, jauh sebelum Tarekat Sammaniyah datang ke Aceh. Adapun beberapa kerajaan besar di Gayo yang sudah memeluk Islam jauh sebelum abad ke 18, adalah; Kerajaan Abuk di Lokop Serbejadi (Aceh Timur), Kerajaan Linge, Kerajaan Patiamang di Blangkejeren (Gayo Lues), Kerajaan Syiah i Nosar, Kerajaan Cik dan Kerajaan Bukit. Dengan adanya bukti sejarah tersebut bahwa Islam sudah masuk ke Gayo khususnya Lokop Serbejadi dan Gayo Lues jauh sebelum abad ke 18 maka sungguh mustahil jika orang Gayo khususnya di Gayo Lues baru memeluk Islam seiring dengan datangnya ”Syech Saman” bersama dengan tarekat Sammaniyanya dengan membawa misi penyebaran Islam.

               Tari saman bukanlah berasal dari nama seorang ulama asal Pase yang bernama Syech Saman, tetapi kata Saman berasal dari kata dalam bahasa Gayo yaitu; ”Peraman”, yang berarti tutur/gelar/nama panggilan kepada orang yang telah  berkeluarga. Tari peraman pada mulanya ditarikan sebagai wujud rasa syukur kepada Allah SWT atas kelahiran anak di dalam suatu keluarga Gayo. Rasa syukur kepada Allah SWT itu kemudian diwujudkan oleh pemuda-pemuda Gayo ke dalam bentuk gerakan-gerakan tari yang ditirukan dari gerakan-gerakan gajah putih yang sedang berjalan dari Gayo menuju Aceh, gerakan-gerakan tersebut di dalamnya terdapat shalawat kepada Rasullah SAW, kata-kata nasehat, petuah-petuah, dan puji-pujian kepada Allah SWT atas rahmat dan karunia-Nya yang telah memberikan tambahan anggota keluarga. Seiring dengan perkembangannya tari Peraman berubah nama menjadi tari Saman, yang juga sering disebut dengan tari Sahan Peraman e (Siapa nama panggilannnya) menunjukkan kepada si anak dan orang tua si anak tersebut. Sebagai contohnya “Ali memiliki se orang anak kita misalkan laki-laki, nama anak tersebut adalah Budi. Nah panggilan untuk orang tua si Budi bukanlah Ali, melainkan aman Budi” ini merupakan sebuah contoh.

               Islam masuk ke wilayah nusantara, khususnya Gayo pada abad ke 11 yang dibawa oleh seorang ulama Arab yang bernama Said Syech Ibrahim (Rakyat Aceh; hal 1; 2010). Sang ulama masuk ke Gayo Lues dari Wih Ben (sekarang daerah tersebut bernama Bayen). Di daerah Wih Ben itu ada sebuah Dayah/Pesantren yang bernama Zawiyah Cot Kala. Dayah tersebut merupakan dayah pertama yang berdiri di Aceh yang banyak menghasilkan para pendakwah Islam yang kemudian menjadi penyebar Islam di Aceh. kemudian sang ulama Said Syech Ibrahim ia menuju Perlak, setelah itu beliau menuju Serbejadi Lokop dan akhirnya sampailah beliau ke Gayo Lues tepatnya di Desa Penampaan, Kec.Blangkejeren, Gayo Lues. Kemudian sang ulama membangun sebuah mesjid sebagai simbol bahwa Islam sudah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat Gayo Lues di desa Penampaan, Kec.Blangkejeren, Gayo Lues. Mesjid tersebut dibangun dengan bantuan seorang tukang yang bernama Said Syech Gunung Gerdung (Rakyat Aceh; hal 1; 2010). Mesjid tersebut sampai hari ini masih berdiri kokoh dan dapat dilihat dalam bentuknya yang asli, sehingga adalah suatu kekeliruan yang nyata yang disampaikan oleh Thayeb Loh Angen dalam tulisannya Tari Saman dan Seudati; Dua Tarian Kembar dari Pase, yang mengatakan bahwa Islam masuk ke Gayo Lues karena disebarkan oleh seorang ulama Aceh asal Pase yang bernama Syech Saman yang membawa gerakan-gerakan tarekat Sammaniyah yang kemudian berubah menjadi Tari Saman, padahal Islam sendiri baru masuk ke Pase pada abad ke 13, artinya lebih dahulu Islam masuk ke Gayo Lues baru kemudian berkembang dan tersebar ke wilayah Pase. Jadi bagaimana mungkin seorang ulama Aceh asal Pase yang bernama Syech Saman itu menyebarkan agama Islam kepada masyarakat Gayo Lues yang sudah terlebih dahulu memeluk islam dibandingkan dengan daerah asal sang ulama sendiri yaitu Pase

Legenda Putri Pukes


Gua Putri Pukes terletak di sebelah Utara, tepatnya di sebuah kampung bernama ‘Mendale’, Kecamatan Kebayakan, Aceh Tengah. Putri Pukes sendiri merupakan nama seorang anak gadis semata wayang dan kesayangan seorang ibu dari sebuah keluarga yang tinggal di Kampung Nosar, Kecamatan Bintang, Aceh Tengah.

Suatu hari, ia dijodohkan dengan seorang pria yang berasal dari kampung bernama “Samar Kilang”, Kecamatan Syiah Utama Kabupaten Aceh Tengah (sekarang telah berubah menjadi Kabupaten Bener Meriah).

Pernikahan pun dilaksanakan, berdasarkan adat setempat.

Dalam adat setempat, mempelai wanita diharuskan untuk tinggal dan menetap di tempat mempelai pria. Setelah resepsi pernikahan yang dilaksanakan di rumah mempelai wanita selesai, selanjutnya kedua mempelai pulang menuju tempat tinggal mempelai pria. Prosesi ini dalam bahasa gayo disebut ‘munenes’.

Pada saat prosesi ‘munenes’, mempelai wanita dibekali sejumlah peralatan rumah tangga seperti kuali, kendi, lesung, alu, piring, periuk dan sejumlah perlengkapan rumah tangga lainnya. Adat ‘munenes’ biasanya dilakukan pada acara perkawinan yang dilaksanakan dengan sistem ‘juelen’, dimana pihak wanita tidak berhak lagi kembali ke tempat orangtuanya.

Berbeda dengan sistem ‘kuso kini’ atau ‘angkap’. Dalam sistem Kuso Kini, pihak wanita berhak tinggal di mana saja, sesuai kesepakatan dengan pihak suami. Sementara sistem ‘angkap’, kebalikan dari sistem ‘juelen’. Pada sistem perkawinan ini, pihak lelaki diwajibkan tinggal bersama keluarga pihak wanita.

Pernikahan dengan sistem ‘angkap’ terjadi disebabkan karena si mempelai pria sebelumnya meminta atau mengemis kepada wali mempelai wanita agar dinikahkan dengan putrinya dengan alasan karena sangat mencintainya. Sehingga sebagai persyaratannya, pihak pria harus tinggal bersama keluarga mempelai wanita.

Saat akan melepas Putri Pukes dengan iringan-iringan pengantin, ibu Putri Pukes berpesan kepada putri semata wayangnya yang sudah menjadi istri sah mempelai pria, bahwa nanti sebelum ia melewati daerah rawa-rawa yang sekarang disebut dengan Danau Laut Tawar,  ia jangan pernah melihat ke belakang.

Selama perjalanan menuju rumah mempelai pria, sang putri pun mencoba kuat dan terus berjalan sambil menangis dan menghapus air matanya yang keluar terus menerus. Karena tidak sanggup menahan rasa sedih dan rindu dengan sang ibu tercinta membuat putri lupa dengan pantangan yang disampaikan oleh ibunya.

Secara tak sengaja putri menoleh ke belakang. Sontak, tiba-tiba Putri Pukes merasa kalau ia tidak bisa menggerakkan anggota tubuhnya yang seketika saja terasa membeku dan terasa sangat kaku.  Rasa kaku tersebut makin mejalar naik dari kaki, ke perut, leher hingga akhirnya sang putri pun menjadi batu. Mempelai Pria pun merasa ada yang ganjil dengan perjalanannya, Putri Pukes yang sejak tadi berada disisinya kini tidak lagi berada disana. Ia pun penasaran dan menoleh kebelakang. Ketika matanya tertuju pada sang putri yang telah menjadi batu, ia pun terkejut. Karena saking cintanya dengan Puteri Pukes, Ia pun berdoa agar bisa dipersatukan selamanya. Suami yang baru dinikahi oleh Puteri Pukes pun ikut menjadi batu beserta semua barang bawaan.


Sosok Puteri Pukes yang telah menjadi batu dan terus mengeluarkan air mata hingga sekarang.

Gua Putri Pukes tempat legenda itu diceritakan, kini sudah menjadi tempat wisata, tetapi sangat di sayangkan gua tempat manusia yang menjadi batu itu sudah disemen dan ditambah-tambah sehingga tidak lagi alami.

Abdullah si penjaga gua, menceritakan, batu Putri Pukes tersebut membesar karena kadang-kadang batu tersebut masih menangis sehingga air mata yang keluar tersebut menjadi batu dan makin lama batu tersebut makin membesar.

Sementara sumur besar kata Abdullah, setiap tiga bulan air di sumur tersebut kering dan tidak ada air nya, bila ada air orang pintar akan datang untuk mengambil air tersebut. Sedangkan kendi yang telah menjadi batu tersebut pernah bawa oleh orang, tetapi dikembalikan lagi karena dilanda resah setelah mengambilnya. “Sedangkan tempat bertapa itu di gunakan oleh orang zaman dahulu untuk melakukan bertapa guna mencari ilmu dan alat pemotong (pisau) peninggalan manusia purbakala kata yang ditemukan di dalam goa putri pukes,”

Kisah Sengeda dan Bener Meriah

Pada masa lalu di dataran tinggi Gayo tinggal dua orang kakak beradik yakni, Sengeda dan Bener Meriah bersama ibu mereka. Suatu hari kedua kakak beradik itu menanyakan kepada ibunya siapakah keluarga mereka sebenarnya. Diterangkanlah oleh ibu mereka bahwa ayah mereka bernama Raja Lingga ke XIII, raja yang berkuasa di negeri Lingga. Sedangkan dari pihak ibu mereka adalah keluarga Sultan Malaka. Raja Lingga yang sekarang berkuasa adalah Abang kandung seayah dengan mereka. Sehabis menceritakan asal usul keluarga mereka sang ibu menyerahkan dua pusaka peninggalan almarhun ayahnya Raja Lingga XIII berupa sebilah pedang dan sebentuk cincin permata yang dalam dua benda pusaka tersebut terdapat tulisan yang bertuliskan bahwa kedua benda tersebut milik Raja Lingga yang diwariskan secara turun temurun pada keturunannya. Mendengar cerita tersebut keduanya sepakat untuk pergi ke Lingga untuk menemui Abang dan para kerabatnya.

Setelah mendapat izin dari ibunya, keduanya berangkat menuju Lingga. Sesampainya di sana dengan diantar oleh penguasa setempat, keduanya menghadap Raja Lingga XIV dengan hati penuh suka cita. Di halaman Umah Tujuh Ruang tempat Raja Lingga XIV bertahta mereka sangat terkagum-kagum akan keindahan tempat tersebut. Sesampainya di dalam Umah Tujuh Ruang mereka takjup akan keindahan dan kemewahan tempat tersebut. Mereka kagum akan kebesaran saudara mereka sebagai Raja Lingga XIV. Dihadapan raja dan para pembesar Kerajaan Lingga lainnya, mereka menceritakan maksud kedatangan mereka yang ingin bertemu dengan saudaranya dan juga para kerabat yang lain. Diceritakan pula bahwa mereka adalah anak dari Raja Lingga XIII dan juga keturunan keluarga Sultan Malaka. Tidak lupa mereka memperlihatkan pusaka pemberian ibu mereka kepada para hadirin sebagai bukti bahwa mereka keturunan Raja Lingga XIII.

Mendengar pengakuan dari kedua kakak beradik tersebut seluruh hadirin terharu dan merasa bersyukur bahwa keluarga mereka telah kembali. Namun dalam beberapa saat mereka terkejut akan ucapan Raja yang menuduh mereka berbohong. Menurut raja mereka bukanlah keluarga Raja Lingga XIII. Pusaka yang mereka miliki memang benar milik Raja Lingga XIII, tetapi pusaka tersebut telah dicuri oleh seseorang setelah membunuh Raja Lingga XIII. Dengan demikian kedua kakak beradik tersebut adalah pembunuh Raja Lingga XIII.

Mendengar tuduhan tersebut tentunya kedua kakak beradik terkejut bukan kepalang. Mereka sangat sedih bahwa mereka dituduh membunuh Ayah mereka. Atas dasar itu, raja pun memutuskan hukuman pada keduanya berupa hukuman mati. Mendengar titah raja yang demikian seluruh hadirin sangat terkejut. Para pembesar kerajaan berusaha meluruskan permasalahan dan meyakinkan raja bahwa kedua kakak beradik tersebut memang benar-benar anak Raja Lingga XIII. Dengan segala cara para hadirin yang terdiri dari para pembesar kerajaan dan kerabat istana membujuk raja untuk merubah keputusan, namun hati baginda raja telah membantu dan tetap memerintahkan kakak beradik tersebut untuk dihukum mati.

Untuk melaksanakan hukuman mati tersebut baginda raja memerintahkan seorang algojo untuk memancung Bener Meriah. Sedangkan Cik Serule salah seorang pembesar kerajaan ditugasi untuk memancung Sengeda. Atas perintah tersebut algojo yang berhati bengis ini langsung menyeret Bener Meriah dari Umah Tujuh Ruang untuk dipancung ditengah lapangan. Dalam sekejap akhirnya Bener Meriah merenggangkan nyawanya di tanggan algojo. Pakaian Bener meriah yang berlumuran darah dibawa algojo dan diserahkan pada raja sebagai bukti Bener meriah telah mati.

Sedangkan Sengeda dibawa Cik Serule ke suatu tempat untuk dibunuh. Dalam perjalanan ke tempat tersebut hati Sengeda hancur lebur menyaksikan kepergian saudaranya Bener meriah di tangan algojo atas perintah raja yang tamak. Sengeda telah pasrah dibawa kemanapun oleh Cik Serule.

Tanpa diduga sebelumnya oleh Sengeda, ternyata Cik Serule tidak membunuh Sengeda bahkan menyembunyikan Sengeda di suatu tempat tersembunyi. Untuk membuktikan bahwa perintah dari baginda Raja Lingga XIV telah dilaksanakan, Cik Serule meminta pakaian yang dikenakan Sengeda dan melumuri pakaian tersebut dengan darah binatang. Cik Serule memerintahkan Sengeda untuk tidak pergi meninggalkan tempat persembunyaian sampai beliau datang menjemputnya.

Setelah merasa aman, Cik Serule keluar dari tempat persembunyian dengan membawa pakaian Sengeda yang telah berlumuran darah. Di tengah perjalanan menuju Umah Tujuh Ruang, Cik Serule bertemu dengan sahabat-sahabatnya yang memprotes keputusan raja namun tidak berani membantahnya. Sesampainya di Umah tujuh Ruang tempat berdiamnya raja, Cik Serule menyerahkan pakaian Sengeda yang telah berlumuran darah sebagai bukti bahwa tugas membunuh Sengeda telah dilaksanakan. Melihat bukti tersebut Raja Lingga XIV merasa gembira, beliau yang hatinya penuh diliputi rasa iri dan dengki merasa puas musuhnya telah tiada.

Seusai menghadap raja, Cik Serule memohon izin untuk kembali ke rumahnya. Sebelum sampai ke rumahnya Cik Serule mampir ke tempat persembunyian Sengeda dengan membawa bahan-bahan kebutuhan hidup. Cik Serule berpesan kembali kepada Sengeda bahwa Sengeda harus tetap bersembunyi di tempat tersebut sampai dirinya kembali.

Di tempat persembunyian Sengeda hidup seorang diri. Berbagai aktivitas ia lakukan untuk mengusir kesepian. Namun, setelah cukup lama bersembunyi kesepian tetap menerpa Sengeda apalagi jika ia mengingat peristiwa kematian saudaranya Bener meriah.

Ketika kesepian itu tidak dapat terbendung lagi, Sengeda berniat meninggalkan tempat persembunyian, namun sebelum sampai niatnya itu terlaksana, Cik Serule tiba mengunjungi Sengeda di tempat persembunyian. Tanpa diduga oleh Sengeda sebelumnya, ternyata Cik Serule telah mempunyai rencana untuk dirinya. Cik Serule menyuruhnya untuk tinggal di kediaman Cik Serule. Selama tinggal di rumah Cik Serule Sengeda mengerjakan tugas menjaga kebun dan ternak milik Cik Serule. Selama mengerjakan tugasnya Sengeda bekerja sangat rajin. Melihat kerajinan dan kepatuhan Sengeda, Cik Serule merasa sayang dengannya. Oleh sebab itu Sengeda telah dianggap anak oleh Cik Serule.

Suatu hari dalam tidurnya Sengeda bertemu dengan saudaranya Bener meriah. Dalam mimpi tersebut Bener meriah memberi petunjuk agar Sengeda meminta izin pada Cik Serule untuk ikut mengiringi Cik Serule ke ibukota Kerajaan Aceh Darussalam. Sebagai bekal ke ibukota kerajaan Aceh Darussalam, Sengeda diperintahkan membawa sebilah pisau kecil yang sangat tajam dan sebilah upih betung yang terbagus dan terlebar.

Sesampai di ibukota Sengeda diharuskan mencari jalan agar dia dapat diizinkan memasuk ke dalam keraton Darul dunia. Pada hari persidangan Sengeda diperintahkan untuk duduk di Balai Gading (balai tempat istirahat raja-raja). Dalam mimpinya tersebut Bener meriah memerintahkan Sengeda melukis seekor gajah di upih betung dengan pisau kecil yang telah dibawa. Setelah selesai mainkanlah lukisan tersebut niscaya akan datang seorang putri menghampiri diri mu. Jika putri tersebut bertanya ukiran apakah itu, jawablah itu merupakan lukisan gajah putih yang cantik rupawan dan kuat. Jika ditanya keberadaan gajah putih tersebut jawablah berada di negeri Lingga dan jika Sultan bersedia menyuruhmu menangkap gajah putih tersebut, kamu sanggup melaksanakannya. Jangan takut aku akan selalu membantu mu. Demikianlah ucapan Bener meriah dalam mimpi Sengeda.

Terjaga dari mimpi tersebut, Sengeda berpikir dengan keras. Dia sadar bahwa apabila melaksanakan amanat Bener meriah dalam mimpinya itu, jika ketahuan maka nyawa Sengeda menjadi taruhannya. Selain itu juga keselamatan Cik Serule juga ikut terancam. Namun setelah mempertimbangkan masak-masak dan berdoa pada Allah s.w.t, Sengeda berteguh hati melaksanakan amanat Bener meriah.

Pada suatu hari terdengar rencana Cik Serule ke ibu kota kerajaan Aceh Darussalam sebagai utusan Raja Lingga menghadiri sidang tahunan. Mendengar rencana tersebut Sengeda teringat akan mimpinya, menghadaplah Sengeda pada Cik Surele dan memohon untuk diajak serta dalam rombongan Cik Serule ke ibukota kerajaan Aceh Darussalam. Mendengar permohonan tersebut Cik Serule mengabulkannya. Maka berangkatlah Sengeda beserta rombongan Cik Serule ke ibu kota kerajaan Aceh Darussalam.

Ketika telah berada di ibu kota kerajaan Aceh Darussalam, Sengeda berusaha mencari kesempatan untuk dapat masuk ke dalam keraton Darul Dunia. Ketika seluruh pembesar kerajaan Aceh Darussalam beserta utusan raja-raja taklukan sedang melaksanakan sidang, Sengeda berhasil masuk ke dalam keraton Darul dunia dan menuju Balai gading. Sesampai di sana ia memainkan lukisan gajah yang telah ia lukis di atas upih bambu yang telah ia persiapkan dari rumah. Pada saat memainkan lukisan tersebut, Sengeda kagum, karena pantulan cahaya matahari yang mengenai lukisan tersebut dan memantul kembali ke tembok keraton membuat lukisan gajah tersebut menjadi sangat indah. Sesuai dengan mimpinya, tidak berapa lama datanglah seorang putri yang ternyata salah seorang putri Sultan Aceh. Sang putri menanyakan gambar tersebut pada Sengeda. Diceritakan oleh Sengeda tentang gajah putih sesuai dengan petunjuk Bener meriah dalam mimpinya. Mendengar cerita Sengeda, hati Sang putri terpikat dan memohon pada ayahnya Sultan Aceh Darussalam untuk memerintahkan Cik Serule membawakan gajah putih.

Mendengar permintaan putrinya, Sultan Aceh memerintahkan Cik Serule untuk menangkap gajah putih yang dimaksud. Mendengar permintaan Sultan Aceh, Cik Serule bingung bukan kepalang karena dia tidak mengetahui pengetahuan sama sekali tentang gajah putih yang dimaksud. Mengetahui hal itu Sengeda menceritakan seluruh mimpinya pada Cik Serule dan menenangkan hati Cik Serule dengan menyatakan kesanggupannya untuk menangkap Gajah putih dan mempersembahkannya pada Sultan Aceh.

Setiba di Lingga, Cik Serule melaporkan perintah Sultan Aceh pada Raja Lingga XIV. Kemudian Raja Lingga XIV memerintahkan pada seluruh rakyat untuk membantu Cik Serule menangkap gajah putih.

Untuk menangkap gajah putih di rimba Gayo, Sengeda memohon pada Cik Serule mengadakan kenduri sekedarnya dan berdoa di makam saudaranya Bener meriah. Selain itu juga Sengeda meminta pada penduduk kampung yang akan ikut menangkap gajah putih untuk membawa berbagai macam alat musik untuk dimainkan setelah berdoa di makan Bener meriah. Mendengar permintaan Sengeda, hati Cik Serule merasa bingung tidak mengerti apa hubungan menangkap gajah putih dengan berdoa di makam Bener meriah. Namun karena keyakinannya terhadap Sengeda, Cik serule mengabulkannya.

Pada hari yang telah ditentukan berangkatlah Sengeda bersama Cik serule dan rombongan menuju makam Bener meriah dengan membawa bahan makanan untuk kenduri serta tidak lupa membawa alat-alat kesenian.

Sesampainya di makam Bener meriah mereka berdoa pada Allah s.w.t agar niat mereka dapat terlaksana dengan baik. Selesai berdoa mereka pun melaksanakan kenduri sambil memainkan alat-alat kesenian yang telah mereka persiapkan. Di saat bersamaan, Sengeda memerintahkan beberapa orang yang tidak membawa alat musik untuk menari. Dengan alunan sedih, Sengeda menyanyikan lagu yang menceritakan kesedihannya ditinggal saudara kandungnya Bener meriah. Tari, syair lagu dan alunan musik yang sedih tersebut membentuk suatu rangkaian yang sampai saat ini dikenal sebagai “Tari Guel”.

Ketika mereka sedang asik menari dan memainkan musik, tiba dari arah rumpun bambu muncul seekor gajah putih yang besar dan cantik. Melihat hal itu Sengeda memerintahkan para penduduk untuk terus memainkan tarian tersebut dengan hati yang ikhlas. Mendengar suara alunan musik dan gerak tari yang ritmis tersebut gajah putih bagaikan tersihir. Sengeda dengan didampingi Cik serule menghampiri gajah putih yang telah jinak tersebut untuk menangkap dan mengikatnya.

Keberhasilan Sengeda dan Cik serule menangkap gajah putih membuat hati Raja Lingga XIV berbunga-bunga membayangkan hadiah yang akan ia terima. Tanpa menunggu lama raja memerintahkan Sengeda dan Cik Serule untuk mendampinginya mengantar gajah putih tersebut ke ibukota kerajaan Aceh Darussalam untuk dipersembahkan pada Sultan Aceh. Selama dalam perjalanan sekali-kali Cik Serule menepung tawari gajah putih tersebut agar tetap jinak.

Singkat cerita sampailah rombongan ke hadapan Sultan Aceh. Melihat gajah putihyang diinginkannya putri sultan merasa gembira hatinya. Atas keberhasilan tersebut sultan memberikan hadiah dalam upacara kebesaran. Sebelum acara penyerahan hadiah dilaksanakan, Raja Lingga XIV menghampiri gajah putih untuk memamerkan pada seluruh negeri bahwa dia telah berhasil menangkap gajah putih. Tanpa diduga, gajah putih tersebut mengamuk dan menyemprotkan Raja Lingga dengan air lumpur. Untung saja kejadian tersebut cepat diketahui oleh Sengeda dan Cik serule sehingga raja lingga dapat diselamatkan dari amukan gajah.

Pada hari pemeberian hadiah, Sultan Aceh yang bijaksana sangat tertarik akan kisah Sengeda yang telah berhasil menangkap gajah putih. Maka ditanya pula asal usul Sengeda. Memenuhi permintaan Sultan, Sengeda dengan didampingi Cik Serule dan Raja Lingga XIV menceritakan dengan sebenarnya asal usul Sengeda dan tidak lupa diceritakan pula peristiwa kematian saudara kandungnya Bener Meriah. Untuk memperkuat cerita Sengeda, sultan memerintahkan untuk menghadirkan ibu Sengeda. Setibanya di ruang sidang, ibu Sengeda menceritakan kembali asal-usul Sengeda. Mendengar cerita Sengeda dan ibunya, murka lah baginda pada Raja Lingga XIV yang begitu bengis telah memerintahkan algojo untuk membunuh saudara sendiri. Atas perbuatannya tersebut sultan memutuskan menghukum mati Raja Lingga XIV.

Demikianlah legenda Sengeda dan Gajah putih. Dari legenda inilah tari guel berasal. Begitulah sejarah dari cerita rakyat di Gayo, walaupun kebenaran secara ilmiah tidak bisa dibuktikan, namun kemudian Tari Guel dalam perkembangannya tetap mereka ulang cerita unik Sengeda, Gajah Putih dan sang Putri Sultan. Inilah yang kemudian dikenal temali sejarah yang menghubungkan kerajaan Linge dengan Kerajaan Aceh Darussalam begitu dekat dan bersahaja.